Rancabuaya

31 Desember 2007

Setelah hampir dua tahun, komunitas muda-mudi pengajianku akhirnya mengadakan perjalanan keluar kota lagi. Gossip berkembang katanya untuk mencapai daerah tujuan mirip roller coaster.Sebenarnya aku tidak pernah mengalami emesis di perjalanan tetapi aku duduk di kursi paling belakang. Oleh karena itu, meminum dimenhidrinat 50 mg (Antim*) menjadi fardu ‘ain untukku.
Tubuh merasa mual dan akhirnya muntah di perjalanan karena gangguan pada labyrinthine apparatus di telinga bagian dalam. Dimenhidrinat adalah obat yang mengantagonis histamin pada reseptor Histamin H1. Efeknya sebagai antiemesis saat perjalanan diduga karena menurunkan stimulasi vestibular dan fungsi labyrinthine. Dimenhidrinat juga bisa menembus membran sawar otak, menghambat kerja hi
stamine N-methyltransferase dan memblokade reseptor histaminergic sentral mengakibatkan efek sedatif.*)
Dan itulah yang menyebabkan aku mengantuk dan tidur dengan tidak normal. Pagi hari cerah dan sej
uk itu, antara Bandung dan Bungbulang Garut aku bulak-balik bangun dan terlelap. Kemudian setelah melewati daerah pegunungan –entah di sebelah mana Garut- dengan jalan sempit berkelok-kelok tak henti, perkebunan teh, dan jurang kesadaranku benar-benar hilang.
Aku terbangun ketika hawa udara berubah. Hawa panas khas daerah pantai mulai menyergap. Apalagi bis yang kutumpangi hanya mengandalkan angin sepoi-sepoi dari jendela. Huh, sensor saraf orang Bandung memang sensitive panas.
Pada sebuah kelokan di daerah Pameungpeuk Garut, akhirnya aku melihat laut. Ah, itu Samudera Hindia di depan mata. Lautnya berwarna biru tepatnya biru muda.

Aku terobsesi pada biru,
Biru laut yang mencerminkan hatiku
Seperti permukaan
air laut yang merefleksikan warnanya langit
Sekaligus dalamnya lautan
yang hanya mampu tertembus gelombang cahaya biru

Tapi, aku lebih suka pada langit biru
Seperti molekul-molekul
di atmosfer yang lebih memilih mengabsorpsi gelombang birunya sinar mentari
Hingga cahaya birulah yang berpendaran di atmosfer

Selama kurang lebih satu setengah jam bis berjalan ke arah barat dari Pameungpeuk. Aku tak henti menatap ke arah kiri, karena laut berada di sebelah kiriku. Dan aku juga tak berhenti istighfar sekaligus berteriak tertahan ketika kami –lima orang yang duduk di bangku belakang- terlonjak-lonjak di jalan berbukit yang tidak rata. Jalannya aborsif, untung aku tidak sedang hamil :p. Memang, Pantai Garut Selatan bukan daerah dataran rendah seperti umumnya pantai. Semakin mendekati tempat tujuan, daerahnya semakin berbukit, sehingga kulihat laut dari ketinggian. Itulah daerah Rancabuaya.

(Foto di atas diambil dari http://thiya.multiply.com/photos/album/24)

Pantai Rancabuaya sendiri, selama tujuh tahun terakhir di benakku adalah tempat antah berantah yang identik dengan kesedihan. Saat seorang tetangga hilang tenggelam tak ditemukan jasadnya di pantai itu. Saat kusaksikan seorang Ibu yang akhirnya berpulang karena kesedihan berbulan-bulan menanti putra bungsunya pulang.
Tapi, Subhanallah… pantai dan laut itu memang indah. Setelah enam jam perjalanan, sampai juga kami ke villa tempat tujuan. Hanya terhalang sebuah jalan umum, kurang lebih lima puluh meter, itulah Laut Pantai Selatan. Orang Bandung, yang notabene orang gunung, suka norak melihat laut. Sampai tercetus ucapan seorang teman yang mungkin belum pernah ke laut.

A : Air laut itu asin gak sih?
B : Hehehe,, katanya sih asin, coba aja.

A : (Ngambil air laut terus nyicipin) Asin.
B, C, D, F : #$%^&*R (
speechless hehehehe….)

Aku tak punya nyali untuk mendekati laut. Aku hanya memandangnya dan berkenalan dengan pasir. Aku tak berani mendekati karang. Peringatan keras orang tuaku tentang garangnya Pantai Selatan begitu melekat di benakku. Tentang karang-karang tajam yang mampu merobek tubuh, tentang ombak besar yang datang tiba-tiba, tentang palung yang tak terduga ada di bagian mana, tentang pusaran air yang akan membelit dan membawa tubuhmu ke dasar samudra.


Aku berdiri

Kering, kaki yang berpijak di pasir

Aku menebak, yang mana?

Ombak berbaris meninggi, kemudian pecah satu persatu

Dihadang karang-karang pantai selatan

Menyisakan riak-riak tak berenergi

Padahal aku menunggu

Ombak yang sanggup membasahi ujung jariku

Aku khawatir pada bocah-bocah yang duduk di gugusan karang
Tapi mereka,
Melingkar
Riang
Penuh rasa ingin tahu

Dan basah
Sementara aku tetap di sini
Memilah-milah kerang yang tertimbun pasi
r
Sambil tetap mengawasi ombak

Setelah sekian waktu, aku masih kering
Walau beberapa langkah di depanku adalah laut
Sudahlah
Aku mau duduk saja
Menatap awan yang menutup langit
Menyelidik cahaya merah mentari (hanya sinar merah saja)

Itu..
Sunset terakhir tahun 2007.

Kemudian, hari menjadi malam. Malam yang sepi bintang karena sedari siang awan menghalang. Aku berubah menjadi anak kecil yang kegirangan bermain dengan teman-temannya. Ya, walaupun perbedaan umur cukup mencolok, tujuh belas minus lima sampai tujuh belas plus tujuh. Tentu saja, batas atasnya adalah usiaku hehehe. Kami bermain dalam kelompok dengan tujuan mencari harta karun yang telah disiapkan panitia. Dari satu pos ke pos lain berjuang mendapatkan clue dengan tantangan berbeda dari mulai kreativitas, hapalan dalil, pertanyaan gak penting sampai art performance. Kelompokku menjadi pemenangnya. Mungkin karena kelompokku komplit, pemimpin dan semua anggotanya qualified, high spirit dan talented ;)).
Setelah game selesai. Kami mengelilingi api unggun, kami mengambil manfaat tentang game yang lewat. Tak ada renungan khusus akhir tahun tapi kami diingatkan tentang manfaat kebersamaan hari ini. Kebersamaan yang mudah-mudahan dapat membantu kami untuk bersama-sama menghadapi dunia di masa depan.
Kami
berkumpul bukan untuk merayakan tahun baru jadi acara usai sebelum tengah malam. Setelah acara api unggun selesai, aku curhat dan meminta nasehat tentang masa depan (baca: jodoh :D) pada orang yang lebih berpengalaman. Sambil bercerita aku melihat kembang api bersinar di langit malam di luar villa tanda tahun masehi yang berganti.

1 Januari 2008

Welcome to 2008
Do the best & realize all your dream
But be careful and remember

"Laa ya’ti ‘alaikum ‘aamun illa walladzi ba’dahu syarrun minhu" (Rowahu Tobroni)
Tidak datang pada kalian suatu tahun melainkan tahun sesudahnya itu lebih jelek daripada tahun sebelumnya

Tak sempat kunikmati sunrise pertama 2008 karena pantai ini menghadap arah barat laut. Pagi hari yang kuhabiskan dengan bermain game kelompok. Pagi itu, kami bebas berinteraksi dengan pasir dan ombak di sisi pantai. Aku melepas sandalku, bermain-main dengan pasir. Mencari ganggang hijau dan seluruh tumbuhan laut untuk game membentuk pasir. Sedikit bersentuhan dengan ombak. Mengawasi dan memotret adikku sayang.
Bahagia..
Alhamdulillah..

Kalau aku bisa kembali lagi, aku ingin ke bagian lain pantai Rancabuaya. Katanya aku bisa melihat terumbu karang. Aku juga ingin berenang di bagian lain pantai yang tanpa karang. Atau ke gua yang banyak kelelawar. Atau ke sisi bagian monumen itu.
Hey
, kulihat monumen itu pada saat perjalanan pulang. Lima tiang pancang di sebelah timur agak jauh dari tempat kami menginap. Monumen yang mengingatkan pada kejadian tahun 2000. Sekilas aku ingat cerita tentang sepuluh orang mahasiswa tingkat satu FSRD ITB, yang sedang menikmati liburan akhir semester dua. Mereka berdayung dan berenang di muara. Ombak kecil membuai. Tanpa sadar mereka telah 0.5 km dari bibir pantai. Arus menguat. Ah, pedih.. tentang teman yang berusaha menolong teman lain tapi akhirnya tergulung ombak. Lima orang akhirnya hilang entah kemana. Pencarian berminggu-minggu tak membuahkan hasil. Jasad mereka tak pernah ditemukan.
Perjalanan pulang terasa lebih panjang walaupun tetap kuisi dengan efek sedasi dari dimenhidrinat. Kami pergi dari Rancabuaya selepas dzuhur dan tiba jam sembilan malam. Aku tiba di Bandung disambut hujan. Malam yang sama di Rancabuaya juga hujan kata tuan rumah.
Dua hari itu berkesan. Perasaan yang timbul dari dalam diri. Aku sudah sering ikut acara serupa ke tempat lain. Tapi, entah mengapa perjalanan kali itu menyimpan kebahagiaan yang berbeda. Mungkin karena setting mind-nya berbeda ya. Husnudzon billah masih di muda-mudi (baca: belum menikah) :D.

Alhamdulillah, Ya Rabb aku bahagia karena aku begitu mencintai saudara-saudaraku. Aku bersyukur pernah berkumpul dengan mereka dalam keadaan yang baik. Alhamdulillah ya Rabb, Kau beri aku kesempatan mengalami hari itu.
Jazaakumullahu khoiro.. untuk semua panitia, pengurus, pensodaqoh dana, tuan rumah dan semua saudaraku.
Insya Allah spirit
yang terisi lebih kuat daripada hanya jasad yang sehat...
Mudah-mudahan semangat masa muda terus membara sepanjang hayat untuk perjuangan di jalan-Mu kekasih... (Amiin).


Link terkait tentang Rancabuaya
, salah satunya di sini.
Sisa koleksi fotoku di Rancabuaya ada sedikit di sono.

*)Reference: USPDI, Harrison's Principles of Internal Medicine

Comments

Anonymous said…
Duh.. tanggal berapa nih? Artikel udah hampir satu bulan gitu. Itulah untungnya punya web sendiri, bisa diatur waktu munculnya kapan :D. Posting hari ini tapi ditulis di web 1 minggu lalu, 1 bulan lalu, bahkan 1 tahun lalu, bisa :D. Jadinya nggak keliatan basi :P. Mau... ????

Biru...yang warnanya sama dengan warna kaos itu ya? Ih, kok bisa samaan gitu sih? Padahal gue nggak ada niat buat nyama-nyamain lho :(
swestika said…
Yee.. gw sih ga ada masalah ama postingan ini..
Ga bermaksud ngerayain tahun baru ko :p. Emang sengaja molor waktunya biar gw sendiri puas bikin puisi, baca2 etc.

Yee kedua.. halah.. klo baju mah gw suka warna ungu, coklat, hijau, hehehe..
UKa said…
Wah, jadi kepingin ke rancabuaya nih..
NEOBAG SUPPLIES said…
jadi teringat kejadian hilangnya adik adik FSRD ku ...soalnya dulu aku komandan SAR lautnya ketika mencari mereka walau tak berhasil...hanya dilepas dengan taburan bunga di pinggir pantai...semoga mereka tenang disisinya
NEOBAG SUPPLIES said…
This comment has been removed by the author.

Popular Posts