Kisah pertama di: http://swestika.blogspot.com/2007/01/seruni-dan-bowo.html
Tatkala cahaya mentari meredup
Dan pekat masih enggan datang
Semua begitu tegas
Langit yang masih biru
Awan yang putih bersih
Pegunungan yang hijau membiru
Semburat jingga masih jauh di ufuk barat
Senja yang eksotik
Siapakah yang mengatur semua ini?
Awal tahun bukannya sibuk menyusun rencana kerja setahun mendatang, kami bertujuh satu tim malah sibuk mempersiapkan audit mendadak. Bagaimana tidak mendadak, kami baru mengetahui rencana kedatangan auditor dari Ethiopia, sepuluh hari sebelum kedatangan mereka. Menjelang kedatangan auditor, kami musti overtime, overtime dan overtime. (Baca dengan gaya Hetty Koes Endang di Supermama)
Senja itu, kami istirahat sejenak. Tirai jendela belum kami tutup. Kami semua terpukau memandang keluar jendela. Sebagian dari kami meloncati jendela untuk berdiri di balkon lantai tujuh gedung ini. Berdiri dan memandang Bandung utara ke arah Gunung Burangrang, Tangkuban perahu dan Gunung Manglayang berserta bukit-bukit di kaki-kakinya.
Untukku sendiri, begitu banyak cerita tentang kolaborasi langit biru dan pegunungan bandung utara itu. Bagaimana tidak, tiap hari aku menyempatkan waktu untuk berdiri di jendela, memandangnya. Dalam setahun, hari-hari di bulan januari yang lebih sering mempersembahkan langit biru favoritku. Aku hanya berdiri dari balik jendela.
Dia, ada di situ. Mengambil beberapa foto yang menangkap indahnya senja itu. Dia sendiri bukan lelaki berperasaan halus yang senang mengamati langit.
Kulangkahkan kakiku
Satu langkah maju
Menuju fase baru
Untuk menggenapkan setengah agamaku
”Uni!!!”
Dia memanggilku. Panggilan sayangnya untukku. Setelah dia puas memotret, dia berdiri di sampingku.
”Kenapa Bo?”
Aku tak memalingkan wajah kepadanya.
”Kemarin sudah dimusyawarohkan. Kami insya Allah menikah Juni'08.”
”Oya??”
Aku berteriak hampir histeris. Kutatap wajahnya.
”Iya, akhirnya ya setelah setahun ini.”
Giliran dia yang tak melihat ke arahku.
”Alhamdulillah, aku seneng. Kalau aku ingat pencarianmu untuk mencari soulmate, aku seneeeng banget.”
”Uni, gak apa-apa kan aku duluan?”
”Dasar Bo. Menikah kan bukan perlombaan. Lagipula, aku bahagia melihat kamu bahagia.”
Aku menatap kembali ke arahnya.
Pada saat bernama taqdir itu tiba
Kau menyatukan cinta
Agar semua patahan-patahan itu bersatu
Bowo kemudian bercerita tentang musyawarah keluarganya dan keluarga Bulan. Bagaimana mereka bertemu dan menentukan tanggal. Bagaimana mereka mulai menyusun persiapan. Membayangkan sibuknya kalian dalam enam bulan mendatang.
Aku tetap menatap wajah bahagianya. Di dalam kepalaku sendiri aku sedang berpikir. Aku menyuarakan sendiri suara hati. Kali ini tak patut Bowo mendengar. Dia sedang bahagia.
Bowo, kau memang berbeda denganku. Aku mengandalkan getar-getar cinta untuk memilih seseorang. Dan kau, kau mencari kesepadanan. Ah, aku terlihat sinis. Mungkin karena aku iri pada Bulan, wanita beruntung itu. Atau mungkin karena aku iri pada caramu. Dan mungkin memang caramu lebih terbukti benar daripada caraku.
Bulan, perempuan dengan titutur kata halus dan bahasa kromo inggil yang fasih tapi smart dan berpikiran terbuka. Perempuan yang berperasaan lembut tapi cekatan. Dia cantik, berasal dari keluarga berturunan baik, dan satu latar belakang denganmu Bowo. Dan yang paling penting, Bulan dapat menaklukkan keluargamu.
Jikapun sekian bulan kalian harus menunggu, itu hanya karena masalah teknis. Jodohmu sempurna untukmu, prosesinya juga harus sempurna untuk kalian.
Jadi, apakah aku harus mengganti caraku untuk mencari soulmate? Apakah harus kuenyahkan tuntutan jiwa akan getar-getar serupa yang lahir dari gen-gen sejenis? Apakah cinta laksana telepati itu hanya ada dalam bayangan manusia belaka?
Bowo, aku terlalu naif ya? Cinta platonik itu hanya ada dalam buku-buku sastra, novel-novel picisan, atau film-film romantis kah?? Aku belum bisa membuktikan kalau cinta dua insan yang bagai satu raga itu ada.
”Shalat Maghrib!!” Seseorang berteriak kepada kami.
”Uni, sabar!!! He’ll come back.” Prediksi Bowo
“Ya, whoever he is.” Ucapku lirih
Jingga merayapi langit. Momen ini bukan untukku. Saat ini waktunya untuk Bowo.
Satu prosesi
Menjadi pembeda
Dari haram menjadi halal
Dari dosa menjadi pahala
Dari setengah menjadi satu
Bowo mencium kening Bulan setelah ijab kabul. Aku di sudut mesjid dengan satu titik air mata kebahagian. Aku bahagia melihat sahabatku memulai sebuah kisah dengan belahan jiwanya.
Masih, untukku masih seperti senandung puisi favoritku.
Menanti
Kepingan hati
Mencari
Patahan tulang rusuk
Menunggu
Jalan taqdir yang seiring
Cerpen yang sangat terinspirasi senja tanggal 08/01/2008 (Defa.. makasih fotona..dibajak dengan sukarela kan?? :D)
Dipersembahkan untuk seorang sahabat karib menjelang hari pernikahannya di bulan Februari.
Selamat menggenapkan separuh dien sahabatku. Semoga cinta Allah selalu merahmati perjalanan cinta kalian berdua. Semoga selalu berjodoh dunia akhirat dalam kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah warrahmah.
Barakallah...
Comments
Apa sih yg nggak bwat tika? :)
Btw, aku masih ga ngerti apa hubungan foto itu dgn isi cerpennya.. :p
maklum, sense of mellow nya kurang neh.. :D
Halah.. fotonya sih cuma latar doang ko :D
Biasa itu Tika.. suka gak jelas. Omongan sama tulisan juga sering nggak nyambungnya :P
Mungkin karena ketidaktauan lo aja;)