Perasaan di Atas Awan

Pertama kali aku naik pesawat adalah sekitar 16 tahun lalu. Sejak itu, ratusan kali aku sudah mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Rata-rata, setiap bulan aku melakukan satu kali penerbangan. Aku bahkan hapal jalur imajiner pesawat saat akan mendarat.

Jika duduk di sisi kanan sayap, dari kejauhan aku bisa melihat Bendungan Bili-bili, Danau Mawang, kampus UIN, hingga atap rumahku. Setelah itu, pesawat biasanya melewati Waduk Nipa-nipa, kawasan Sudiang, lalu makin rendah hingga menyentuh landasan.

Namun hari itu berbeda. Setiap kali pesawat bersiap turun, tubuh pesawat bergetar. Bahkan setelah melewati area pemakaman Sudiang, ketinggian pesawat masih cukup tinggi dan ternyata tidak jadi mendarat. Pesawat justru berputar melewati Maros, lalu kembali ke arah Takalar, seakan mengulang jalur yang sama.

Aku hanya sendirian saat itu. Pikiranku melayang pada suamiku yang sedang menunggu di bandara. Bagaimana ia tahu bahwa aku sedang menghadapi masalah? Aku baru sadar, aku lupa mengucapkan “I love you” seperti kebiasaan setiap kali pesawat lepas landas. Aku hanya bisa berdoa, agar masih diberi kesempatan bertemu kembali dengan anak-anakku. Tegang, mulutku berkomat-kamit dzikir kepada Allah. Jika memang saat itu waktuku, aku ingin kalimat terakhir yang terucap adalah kalimat tahlil. Takut dan pasrah bercampur.

Percobaan mendarat kedua pun kembali gagal. Pesawat lalu naik lebih tinggi hingga aku bisa melihat jajaran awan dari balik jendela. Tak lama, pilot mengumumkan bahwa karena kondisi angin tidak memungkinkan untuk mendarat, penerbangan kami dialihkan sementara ke Balikpapan.

Epilog:
Empat jam kemudian dari jadwal seharusnya, aku akhirnya bisa mendarat. Dalam pelukan suami dan anak-anakku, rasa takut yang menekan sepanjang perjalanan luruh menjadi syukur yang tak terucapkan.

Comments

Popular Posts