Seruni dan Bowo (sebuah cerita pendek)

Seruni dan Bowo

Dia berada di tepian jendela, lengan terlipat dan menopang dagunya. Orang kedua, bersandar malas dengan tangan menjuntai santai di kursi kerjanya.
"Buzz!!" Angin tiba-tiba meniup kertas-kertas laporan, notulensi meeting, dossier, hasil kerja berminggu-minggu. Tapi, dinginnya angin dan bekunya debu tak merubah raut wajah dua orang itu, mereka tak bergeming. Keduanya asyik berdiskusi lewat telepati yang tak membutuhkan suara.
Kau butuh suara?
Aku perlu satu, dua atau kadang kala,
Lain kali tidak,
Aku ingin tatapan mata, gestur tubuh, kernyitan alis, atau pipi yang merona
-------------------------------------------------------------------------------
Seruni
"I look forward someone who completes me."

Suatu saat menjelang ujian tengah semester, aku bersama tiga teman lelakiku memutuskan belajar di perpustakaan kampus. Berjalan bergerombol sambil berceletukan tentang farmakoterapi obat.
" Osteoarthritis, pilihan terapi pertamanya apa? "
" Kalau menurut buku Pharmacotherapy sih, pake analgesic oral kaya parasetamol atau topical contohnya capsaicin. "
"Ko parasetamol sih? Dia kan efek antipiretiknya yang utama dibandingkan efek analgesiknya. "
“Tanya aja buku. Osteoarthritis kan sebenernya gak ada obatnya. Semuanya cuma buat nahan sakit di persendian.”
“Ssst ribut bener, masih jalan nih diskusi dah mulai.”

“Eeit, ada anak depan di perpus, pa kabar oii!!” Seorang teman berteriak. Kami berhenti berjalan karena pertemuan itu, seorang kenalan teman dari fakultas tetangga. Aku tak mengenali satupun dari enam orang yang sedang belajar bersama di meja itu. Tapi, setelah mata ini melakukan proses scanning satu per satu, jantungku berdegup. Mematung…
Dia ada di situ bersama teman-temannya. Rambutnya sebahu, tidak putih, tapi berkarakter kuat. Dia sekilas memandangiku.
Love at first sight..

Aku tak ingat apa yang terjadi selanjutnya. Aku ingat, dia telah masuk ke ruang hatiku, begitu saja, tanpa pernah direncanakan. Tentu hal mudah untuk sekedar mengetahui namanya, mencari alamat emailnya sampai akhirnya menemukan accountnya di friendster.

Dan lebih mudah lagi untuknya mengetahuiku, kata-katanya yang aku ingat di kemudian hari.
“Ada satu orang cewe imut diantara cowo-cowo farmasi yang rebut padahal setahuku farmasi banyak cewenya, cewe yang aneeeh.”
Dan dia melakukan hal yang sama, mencari tahu namaku dan menemukan accountku di friendster. Setelah itu kami jadi ‘teman’.

Kadang kala bertemu, banyak hal-hal lucu terjadi dan banyak kebetulan tak terencana. Tak sengaja memakai baju dengan warna yang sama, berkisar biru, hijau, coklat dan hitam. Warna-warna yang melambangkan mood kami. Atau tiba-tiba dia ada di gramedia, kantin mulya cirebon, warung steak, bahkan online di Y!M tanpa pernah ada janji sebelumnya. Orang-orang bilang itulah satu hati.

Atau apakah penjelasannya jika ini terjadi?
Kami suka bau jeruk tanpa pernah suka wangi-wangi lainnya, semua wewangian membuat kami mual. Kami lebih suka memandang langit biru dibandingkan lautan yang sama biru. Kami sama-sama benci udang karena itu akan membuat gatal-gatal di kulit. Kami cinta bau tanah ketika baru turun hujan, bau bawang putih saat masuk penggorengan pertama kali, atau sensasi pahit dari teh kental.

Munurutku, itulah kecocokan yang berasal dari dalam diri. Kecocokan yang bukan dibangun oleh pendidikan sekolah, persahabatan, buku-buku yang dibaca, atau ajaran keluarga. Kesamaan yang timbul dari gen-gen sejenis kemudian tersebar acak diantara manusia. Gen-gen yang rindu untuk mencari pasangannya. Gen-gen yang mengatur indera penciuman, penglihatan, pengecapan, bahkan alergitivitas.

Tahukah sensasi yang kau dapatkan jika kau kira gen dalam dirimu menemukan pasangannya? Bahagia yang aku rasakan. Bahagia yang melahirkan toleransi luar biasa untuk menerima semua perbedaan yang diciptakan lingkungan. Dia suka musik rock, akhirnya aku bersedia menerima irama dahsyat itu. Aku bisa sama-sama terpesona dengannya ketika melihat rangka di bawah flyover. Dia mencoba membaca novel roman sastra hobbyku untuk mengenaliku.
-----------------------------------------------------------------------------------
Bowo

Sudah saatnya aku mencari pendamping. Mencari istri adalah menggenapkan setengah dien, kebutuhan biologis, harapan keluarga, dan tentu saja keinginan mencari belahan jiwa. Proses menemukan calon istriku sekarang juga bukan hal mudah.

Pertama: pertemuan-pertemuan entrepreneur club
Semangat entrepreneurship menguat di kalangan mahasiswa, termasuk menarik mintaku. Telah beberapa kali pertemuan entrepreneur club berlangsung. Semua peserta dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil untuk mewujudkan sebuah proyek, minimal dalam bentuk business plan. Komunitas ini minim wanita, tapi aku sekelompok dengannya, seorang wanita penuh semangat. Banyak ide keluar darinya, mulai dari bisnis lobster darat, burung kenari, brownies kukus, toko buku online, hingga loundry untuk mahasiswa.

Kedua: Kantin kampus
Tadinya aku pikir, karena wanita adalah makhluk langka di kampus ini *, maka semua wanita terlihat cantik. Setelah beberapa kali bertemu dengannya saat makan siang di kantin kampus, dia cukup cantik, 8 skala 10. Kutebak-tebak dari raut wajah dan logatnya, dia wong jowo.

Ketiga: Lebaran di kampung halaman
“Sugeng riyadi eyang.”
“Sugeng riyadi. Apa kabarmu?”
“Alhamdulillah, apik. Eyang, kenalkan ini putra saya, bowo. Semenjak eyang tinggal di medan, mungkin belum pernah bertemu dengan eyang.”
“Sudah besar yo le’. Sudah kuliah?”
“Sudah eyang, tingkat empat di IT#.”
“Cucu eyang juga kuliah di sana, mungkin kamu kenal.. Bulaaaan!! Kemari!”
Aku terperangah, dia di sana.

Keempat: pertemuan keluarga
Orang-orang tua berkata, “Bulan dan Bowo cocok sekali.“
Aku hanya tersenyum.
Bahagia.
Bagaimana aku tidak merasa bahagia? Aku menemukan seseorang seperti criteria yang aku inginkan. Dia smart, berpikiran kreatif dan terbuka, cantik, berasal dari keluarga yang satu kultur denganku, dan didukung oleh keluarga.
Bagaimana aku tidak merasa bahagia? Jika kelak aku bersanding dengannya, tentu aku dan dia akan terlihat serasi dan mengisi, jiwa dan raga.
----------------------------------------------------------------------------------
Seruni dan Bowo
Kunci dan anak kunci
Bisakah kau tukar-tukar pintunya?
Bisakah kau tukar-tukar gagangnya?
Bisakah kau putar balik anak kuncinya?
Jangan kau buka dengan paksa

Coba bayangkan dengan pikiran kita sekarang, aku harus jadi jodohmu. Aku harus berharap semua sel-selku mempunyai susunan kode yang mirip denganmu. Jikapun itu terjadi, aku harus membalikkan waktu satu tahun lebih awal, mencari momen romantis untuk bertemu denganmu. Sulit, tidak mungkin.
Apa tidak sulit juga untukku jika aku harus menjadi jodohmu. Aku harus memilih orang tua yang mengandungku, yang mendidikku, membesarkanku, memberi gizi dengan baik. Agar aku mempunyai attitude dan etika yang serupa denganku. Agar aku lebih tinggi 15 cm dari sekarang, supaya tidak timpang mendampingimu. Agar aku sepadan denganmu.

Bagaimana mungkin kita merubah semua taqdir? Taqdir itu sendiri menuntun kita mengenali dengan cara masing-masing. Bahkan ada sekian cara lagi untuk menemukan sebuah keyakinan bahwa ada seseorang untuk diri kita.
--------------------------------------------------------------------------------------
Seruni dan Bowo
“Woooi, kalian ngelamun aja! Ayo tutup jendela, mendung, kertas berantakan kena angin.” Sebuah suara rekan kerja menyadarkan diskusi maya mereka.
Dari lantai tujuh, awan mulai menghalangi pandangan mereka berdua menembus view gunung tangkuban perahu.
Sambil tersenyum simpul kembali ke meja masing-masing.
Soulmate masih berupa bayangan semu. Mungkin esok, kata soulmate itu berubah jadi nyata.

Menanti
Kepingan hati
Mencari
Patahan tulang rusuk
Menunggu
Jalan taqdir yang seiring

Comments

Lutfi Asyairi said…
memang sudah saatnya mencari.....
Anonymous said…
farkot oh farkot . . . kapan kita bisa bertemu lagi? di ujung senja kah..?
swestika said…
sedari bbrp waktu yang lalu, kita mencari kan? Ada yang dengan mudah, ada yang begitu sulit, ada yang terbuka, ada yang pake gerakan bawah tanah segala :P
Uhm...
ceritanya ngegantung, gak suka ah...

ceritain akhirnya aja deh.. hehe...
Unknown said…
landscape-nya tampak familiar ... :D
swestika said…
Denis has to recognize it. Jaman ngoraaaa :D

Popular Posts