Major and Minor
Pernah merasakan menjadi minoritas? Setiap pagi di lift, aku ngerasa menjadi minoritas di negeriku sendiri.
Dasarnya apa? Tebak sendiri. Gambarannya, gedung tempatku bekerja adalah gedung tempat top-middle level management, trading and manufacturing business, esp. marketing section, sang owner adalah ..( you know lah).
Minoritas-minoritas di Indonesia berkumpul, menjadi mayoritas. Maaf, ini adalah bentuk empati. Aku terbiasa jadi mayoritas, menjadi merasakan juga ketidaknyamanan menjadi minoritas. Tidak sampai terjadi diskriminasi, tetapi ada rasa sedikit pandangan berbeda.Huuh, tika GR skali, semua orang ngeliatin.
Tapi, kalau soal sifat. Manusia seragam kok. Ada yang supel, ramah, cuek, jutek, biasa aja. Bisa ditemui di komunitas dengan jenis mayoritas apa pun. Contohnya, aku terkesan oleh keramahan seorang teman. Seseorang yang menyapa terlebih dahulu di angkot, waktu dia ngeh klo kami sekantor. Percakapan kami selalu mengalir lancar, tanpa ada barrier. Dia adalah minoritas di angkot, dan mayoritas di kantor. Walaupun justifikasinya adalah latar belakang, sekolah dan rumahnya ga jauh beda denganku. Kita masih bisa bilang, pantes aja. Tapi, aku tetep salut ama keramahan dia.
Kembali lagi soal mayoritas dan minoritas. Kalo temen-temen seruanganku bertujuh pulang bareng, di lift kami tidak lagi menjadi minoritas. Akhirnya sih, semua relatif ya?
Dasarnya apa? Tebak sendiri. Gambarannya, gedung tempatku bekerja adalah gedung tempat top-middle level management, trading and manufacturing business, esp. marketing section, sang owner adalah ..( you know lah).
Minoritas-minoritas di Indonesia berkumpul, menjadi mayoritas. Maaf, ini adalah bentuk empati. Aku terbiasa jadi mayoritas, menjadi merasakan juga ketidaknyamanan menjadi minoritas. Tidak sampai terjadi diskriminasi, tetapi ada rasa sedikit pandangan berbeda.Huuh, tika GR skali, semua orang ngeliatin.
Tapi, kalau soal sifat. Manusia seragam kok. Ada yang supel, ramah, cuek, jutek, biasa aja. Bisa ditemui di komunitas dengan jenis mayoritas apa pun. Contohnya, aku terkesan oleh keramahan seorang teman. Seseorang yang menyapa terlebih dahulu di angkot, waktu dia ngeh klo kami sekantor. Percakapan kami selalu mengalir lancar, tanpa ada barrier. Dia adalah minoritas di angkot, dan mayoritas di kantor. Walaupun justifikasinya adalah latar belakang, sekolah dan rumahnya ga jauh beda denganku. Kita masih bisa bilang, pantes aja. Tapi, aku tetep salut ama keramahan dia.
Kembali lagi soal mayoritas dan minoritas. Kalo temen-temen seruanganku bertujuh pulang bareng, di lift kami tidak lagi menjadi minoritas. Akhirnya sih, semua relatif ya?
Comments